EDIRUSLAN PE AMANRIZA(BaganSiapiapi)
di Bagansiapi-api, Rokanhilir, Riau, pada 17 Agustus
1947. Ediruslan Pe Amanriza memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) dan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bagansiapi-api. Tahun 1961, ia masuk SHD di Medan,
meskipun tidak selesai. Tahun 1962, ia pindah sekolah ke SKMA Bogor, juga tidak
selesai. Pada tahun yang sama, ia meneruskan sekolahnya di salah satu SMA di
Bandung sampai tamat. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di FHPM
Universitas Padjadjaran, Bandung, hingga 1969, namun juga tidak sampai selesai.
Semasa hidupnya, Ediruslan Pe Amanriza banyak terlibat dalam berbagai aktivitas sosial-politik dan kesenian. Ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dari Partai Golkar, menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, sekjen dan kemudian ketua umum Dewan Kesenian Riau (DKR), ketua harian Yayasan Lembaga Adat Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), Pekanbarau, dan sebagainya. Sebagai seorang jurnalis, Ediruslan pernah menjadi koresponden Majalah Topik dan Tempo (Jakarta), kemudian aktif di Surat Kabar Mingguan Genta (Pekanbaru) sebelum akhirnya mendirikan koran sendiri, Tabloid Azam (Pekanbaru).
Di sela-sela kesibukannya di organisasi dan politik, Ediruslan tak pernah berhenti dari kegiatan menulis atau kesusastraan. Karier kepengarangannya sendiri sudah mulai ia rintis sejak duduk di bangku SMP, tetapi secara sungguh-sungguh baru ia lakukan sekitar tahun 1967. Sejumlah puisi, cerpen, esei, dan novel telah ia hasilkan dan dimuat di berbagai media massa. Puisi-puisinya, antara lain, dimuat di Mingguan Mimbar Demokrasi dan Majalah Mimbar Bandung. Karya-karyanya yang lain juga dimuat di Harian Sinar Harapan, Haluan, Kompas, Majalah Sastra Horison, Zaman, Menyimak, dan lain sebagainya.
Ediruslan Pe Amanriza wafat pada hari Rabu, 3 Oktober 2001, sekitar pukul 12.35 WIB, di Rumah Sakit Islam Asifah Sukabumi, Jawa Barat. Ia wafat setelah tidak kuat melawan kanker paru-paru yang dideritanya selama empat bulan. Ia meninggalkan empat orang anak dan seorang istri.
Salah satu romannya, Panggil Aku Sakai (Balai Pustaka, Jakarta, 1987) yang memenangi sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1986, sangat dikenal oleh publik sastra di Riau. Roman ini menjadi salah satu simbol perlawanan masyarakat suku terasing Sakai terhadap dominasi pembangunan yang cenderung menindas.
Karya-karyanya dalam bentuk kumpulan puisi, antara lain, Vogabon (1975), Surat-suratku kepada GN (1981), Nyanyian Wangkang (1999), sebuah antologi bersama penyair Taufik Ikram Jamil, Antara Mihrab dan Bukit Kawin (1992). Sedangkan karya-karya dalam bentuk roman atau novel antara lain Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Ke Langit (1993), Jembatan (Kekasih Sampai Jauh), Perang Bagan, dan Stasiun di Kaki Bukit. Tiga romannya, Nakhoda Koyan (1977), Panggil Aku Sakai (1987), dan Dikalahkan Sang Sapurba (2000), memenangi Sayembara Mengarang Roman DKJ, masing-masing untuk juara I, I, dan II. Satu-satunya kumpulan cerpennya yaitu Renungkanlah Markasan (DKR, 1997). Dua novelnya, Jakarta di Manakah Sri dan Di Bawah Matahari, diterbitkan di Kualalumpur, Malaysia, sementara roman-romannya yang lainnya diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta. Esei-eseinya yang sudah dibukukan adalah Kita dari Pedih Yang Sama (1999) dan Aduh, Riau Dilanggar Todak.
Atas karya dan jasa-jasanya bagi seni dan budaya, Ediruslan Pe Amanriza telah mendapatkan penghargaan Anugerah Sagang kategori Seniman Terbaik Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang (1998) dan Seniman Pemangku Negeri (SPN) dari DKR.
Semasa hidupnya, Ediruslan Pe Amanriza banyak terlibat dalam berbagai aktivitas sosial-politik dan kesenian. Ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dari Partai Golkar, menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, sekjen dan kemudian ketua umum Dewan Kesenian Riau (DKR), ketua harian Yayasan Lembaga Adat Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), Pekanbarau, dan sebagainya. Sebagai seorang jurnalis, Ediruslan pernah menjadi koresponden Majalah Topik dan Tempo (Jakarta), kemudian aktif di Surat Kabar Mingguan Genta (Pekanbaru) sebelum akhirnya mendirikan koran sendiri, Tabloid Azam (Pekanbaru).
Di sela-sela kesibukannya di organisasi dan politik, Ediruslan tak pernah berhenti dari kegiatan menulis atau kesusastraan. Karier kepengarangannya sendiri sudah mulai ia rintis sejak duduk di bangku SMP, tetapi secara sungguh-sungguh baru ia lakukan sekitar tahun 1967. Sejumlah puisi, cerpen, esei, dan novel telah ia hasilkan dan dimuat di berbagai media massa. Puisi-puisinya, antara lain, dimuat di Mingguan Mimbar Demokrasi dan Majalah Mimbar Bandung. Karya-karyanya yang lain juga dimuat di Harian Sinar Harapan, Haluan, Kompas, Majalah Sastra Horison, Zaman, Menyimak, dan lain sebagainya.
Ediruslan Pe Amanriza wafat pada hari Rabu, 3 Oktober 2001, sekitar pukul 12.35 WIB, di Rumah Sakit Islam Asifah Sukabumi, Jawa Barat. Ia wafat setelah tidak kuat melawan kanker paru-paru yang dideritanya selama empat bulan. Ia meninggalkan empat orang anak dan seorang istri.
Salah satu romannya, Panggil Aku Sakai (Balai Pustaka, Jakarta, 1987) yang memenangi sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1986, sangat dikenal oleh publik sastra di Riau. Roman ini menjadi salah satu simbol perlawanan masyarakat suku terasing Sakai terhadap dominasi pembangunan yang cenderung menindas.
Karya-karyanya dalam bentuk kumpulan puisi, antara lain, Vogabon (1975), Surat-suratku kepada GN (1981), Nyanyian Wangkang (1999), sebuah antologi bersama penyair Taufik Ikram Jamil, Antara Mihrab dan Bukit Kawin (1992). Sedangkan karya-karya dalam bentuk roman atau novel antara lain Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Ke Langit (1993), Jembatan (Kekasih Sampai Jauh), Perang Bagan, dan Stasiun di Kaki Bukit. Tiga romannya, Nakhoda Koyan (1977), Panggil Aku Sakai (1987), dan Dikalahkan Sang Sapurba (2000), memenangi Sayembara Mengarang Roman DKJ, masing-masing untuk juara I, I, dan II. Satu-satunya kumpulan cerpennya yaitu Renungkanlah Markasan (DKR, 1997). Dua novelnya, Jakarta di Manakah Sri dan Di Bawah Matahari, diterbitkan di Kualalumpur, Malaysia, sementara roman-romannya yang lainnya diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta. Esei-eseinya yang sudah dibukukan adalah Kita dari Pedih Yang Sama (1999) dan Aduh, Riau Dilanggar Todak.
Atas karya dan jasa-jasanya bagi seni dan budaya, Ediruslan Pe Amanriza telah mendapatkan penghargaan Anugerah Sagang kategori Seniman Terbaik Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang (1998) dan Seniman Pemangku Negeri (SPN) dari DKR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar